Satu (1) Jalan
Sebuah Jalan
Islam, di dalam Al-Quran, menyebutkan adanya sebuah jalan. Pernah baca Al-Fatihah ‘kan? Dengan jelas ayat tersebut berbunyi “sirāt” pada salah satu potongan ayatnya (ayat ke-5).
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Di dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan diri kita sebagai seorang hamba yang meminta kepada Tuhan-Nya. Kita meminta agar ditunjukkan jalan yang lurus. Sifat kata sirāt tidaklah dalam bentuk plural (jama’) maupun dual. Artinya, bahwasanya hanya ada satu jalan yang diinginkan hamba-Nya. Lalu, hamba tersebut meminta petunjuk agar dapat berada di atas jalan tersebut. Mengapa meminta petunjuk untuk jalan? Bukankah tujuan kita adalah Allah?
Sirātal mustaqīm adalah jalan kita di dunia yang dapat mengantarkan kita kepada Allah SWT. Jalan tersebut juga bisa diartikan Kitab Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali RA: “Asshirātul mustaqīm kitabullah”. Selain itu, agama Islam juga termasuk dalam arti kata ini (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i).
Pada ayat sebelumnya, kita meminta pertolongan. Pertolongan tersebut dispesifikasi pada ayat berikutnya (agar ditunjukkan jalan yang lurus). Kita menginginkan pertolongan dalam bentuk pemberian petunjuk. Petunjuk yang dapat mengantarkan kita sehingga sejalan dengan jalan-Nya.
Petunjuk-petunjuk agar dapat berada di jalan Allah ada di dalam Al-Quran dan dibahas lebih lanjut di dalam hadis. Dapat dianalogikan seperti seorang musafir (orang yang dalam perjalanan) yang sedang berada di negeri yang antah-berantah dan dia memiliki buku petunjuk jalan agar dapat membimbingnya dengan selamat melewati negeri tersebut dan meneruskan sisa perjalanannya.
Manusia adalah musafir. Negeri antah-berantah ibarat dunia. Petunjuk jalan atau travel guide ibarat Al-Quran. Jika tidak ingin tersesat dan sampai tujuan dengan selamat, petunjuk yang ada dalam Al-Quran harus diikuti.
“Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan” begitulah potongan kata Rasulullah SAW ketika bersabda di dekat Ibnu Umar RA.
Allah SWT yang menciptakan dunia dan seisinya, termasuk manusia. Maka dari itu, Allah-lah yang paling tahu akan ciptaan-Nya. Al-Quran, sebagai petunjuk (Al-Huda) memberikan manusia prinsip-prinsip dan dasar-dasar agar dapat berjalan di atas jalan-Nya yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Rasulullah SAW dan para ulama.
Berjalan di atas jalan ini tidaklah mudah karena penuh dengan ujian. Sehingga, akan tampak jalan-jalan lain yang tidak menuju kepada Allah. Jalan-jalan itulah yang penuh dengan tipu daya dunia—kesenangan, syahwat, harta, dll.—Jalan tersebut membuat kita lupa dan lalai akan Hari Pembalasan.
“… Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
Demikian gambaran Al-Quran surat Ali Imran ayat ke-146. Allah memberikan ilustrasi bahwa berada di jalan-Nya berisiko tertimpa bencana/ujian. Di kalimat terakhir, Allah menyebutkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang sabar. Dengan begitu, manusia didorong agar tetap sabar walau diterjang badai. Jikalau ingin menjadi Muslim yang memiliki kriteria itu—tidak menjadi lemah, mudah patah semangat, dst.—maka kita harus sabar dulu. Buktikan kepada Allah bahwa diri ini layak untuk dicintai oleh-Nya, disebabkan kesabaran kita. Wallahu a'lam.
Islam, di dalam Al-Quran, menyebutkan adanya sebuah jalan. Pernah baca Al-Fatihah ‘kan? Dengan jelas ayat tersebut berbunyi “sirāt” pada salah satu potongan ayatnya (ayat ke-5).
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Di dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan diri kita sebagai seorang hamba yang meminta kepada Tuhan-Nya. Kita meminta agar ditunjukkan jalan yang lurus. Sifat kata sirāt tidaklah dalam bentuk plural (jama’) maupun dual. Artinya, bahwasanya hanya ada satu jalan yang diinginkan hamba-Nya. Lalu, hamba tersebut meminta petunjuk agar dapat berada di atas jalan tersebut. Mengapa meminta petunjuk untuk jalan? Bukankah tujuan kita adalah Allah?
Sirātal mustaqīm adalah jalan kita di dunia yang dapat mengantarkan kita kepada Allah SWT. Jalan tersebut juga bisa diartikan Kitab Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali RA: “Asshirātul mustaqīm kitabullah”. Selain itu, agama Islam juga termasuk dalam arti kata ini (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i).
Pada ayat sebelumnya, kita meminta pertolongan. Pertolongan tersebut dispesifikasi pada ayat berikutnya (agar ditunjukkan jalan yang lurus). Kita menginginkan pertolongan dalam bentuk pemberian petunjuk. Petunjuk yang dapat mengantarkan kita sehingga sejalan dengan jalan-Nya.
Petunjuk-petunjuk agar dapat berada di jalan Allah ada di dalam Al-Quran dan dibahas lebih lanjut di dalam hadis. Dapat dianalogikan seperti seorang musafir (orang yang dalam perjalanan) yang sedang berada di negeri yang antah-berantah dan dia memiliki buku petunjuk jalan agar dapat membimbingnya dengan selamat melewati negeri tersebut dan meneruskan sisa perjalanannya.
Manusia adalah musafir. Negeri antah-berantah ibarat dunia. Petunjuk jalan atau travel guide ibarat Al-Quran. Jika tidak ingin tersesat dan sampai tujuan dengan selamat, petunjuk yang ada dalam Al-Quran harus diikuti.
“Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan” begitulah potongan kata Rasulullah SAW ketika bersabda di dekat Ibnu Umar RA.
Allah SWT yang menciptakan dunia dan seisinya, termasuk manusia. Maka dari itu, Allah-lah yang paling tahu akan ciptaan-Nya. Al-Quran, sebagai petunjuk (Al-Huda) memberikan manusia prinsip-prinsip dan dasar-dasar agar dapat berjalan di atas jalan-Nya yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Rasulullah SAW dan para ulama.
Berjalan di atas jalan ini tidaklah mudah karena penuh dengan ujian. Sehingga, akan tampak jalan-jalan lain yang tidak menuju kepada Allah. Jalan-jalan itulah yang penuh dengan tipu daya dunia—kesenangan, syahwat, harta, dll.—Jalan tersebut membuat kita lupa dan lalai akan Hari Pembalasan.
“… Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
Demikian gambaran Al-Quran surat Ali Imran ayat ke-146. Allah memberikan ilustrasi bahwa berada di jalan-Nya berisiko tertimpa bencana/ujian. Di kalimat terakhir, Allah menyebutkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang sabar. Dengan begitu, manusia didorong agar tetap sabar walau diterjang badai. Jikalau ingin menjadi Muslim yang memiliki kriteria itu—tidak menjadi lemah, mudah patah semangat, dst.—maka kita harus sabar dulu. Buktikan kepada Allah bahwa diri ini layak untuk dicintai oleh-Nya, disebabkan kesabaran kita. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar