Memandang Musibah
Beberapa waktu yang lalu, terjadi bencana yang menimpa beberapa daerah khusunya di provinsi Jawa Timur, seperti di Pacitan. Longsor dan banjir yang melanda daerah itu telah menewaskan beberapa warga.
Itu adalah sedikit contoh dari musibah. Apakah musibah itu? Mengutip perkataan Ustaz Nouman Ali Khan, musibah adalah "to hit a target". Artinya, untuk mengenai sesuatu. Jadi, sesuatu yang menimpa manusia, dapat disebut sebagai musibah. Lebih dalam lagi, musibah dikaitkan dengan sesuatu yang secara kasat mata terlihat negatif. Seperti bencana banjir itu musibah, tidak naik kelas adalah musibah, dan sebagainya.
Ustaz Nouman Ali Khan menambahkan bahwa ada dua macam musibah. Musibah dari Allah swt yang sudah dituliskan oleh-Nya dan musibah yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Musibah dari Allah adalah bentuk ujian dari-Nya untuk mengetes dan mendidik hamba-Nya. Sebagaimana dalam ayat:
"Dan Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155)
Sabar adalah buah dari susahnya kita dalam menghadapi musibah. Terdapat sebuah prinsip manakala kita mendengar tentang adanya musibah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
"(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata 'inna lillahi wa inna ilaihi raji'un'". (Al-Baqarah: 156)
Prinsipnya berbunyi: "sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali." Sebuah prinsip yang menggugah dan penuh makna. Sebagai manusia, kita adalah milik Allah, pencipta diri kita. Maka, apa-apa yang kita akui sebagai milik kita, otomatis adalah milik Allah. Rumah kita milik Allah, kendaraan kita milik Allah, dan bahkan anak-anak kita adalah milik Allah. Semua yang kita mengaku sebagai milik pribadi hanyalah titipan dari Allah. Karena segalanya milik Allah, maka akan kembali kepada-Nya. Jika dilanda musibah, kita sadar bahwa segalanya sebetulnya milik Allah, bukan milik kita, sehingga akan terbentuk sebuah perasaan rendah hati sebagai manifestasi dari perasaan sabar.
Musibah berikutnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
"Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syuro: 30)
Dengan adanya musibah yang disebabkan oleh manusia itu sendiri, akan ada ruang untuk bisa memperbaiki diri. Tanpa musibah, bagaimana bisa manusia mendapatkan pelajaran? Pelajaran yang didapat tentu bisa membuat manusia lebih bijak dan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Wallahu a'lam.
Itu adalah sedikit contoh dari musibah. Apakah musibah itu? Mengutip perkataan Ustaz Nouman Ali Khan, musibah adalah "to hit a target". Artinya, untuk mengenai sesuatu. Jadi, sesuatu yang menimpa manusia, dapat disebut sebagai musibah. Lebih dalam lagi, musibah dikaitkan dengan sesuatu yang secara kasat mata terlihat negatif. Seperti bencana banjir itu musibah, tidak naik kelas adalah musibah, dan sebagainya.
Ustaz Nouman Ali Khan menambahkan bahwa ada dua macam musibah. Musibah dari Allah swt yang sudah dituliskan oleh-Nya dan musibah yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Musibah dari Allah adalah bentuk ujian dari-Nya untuk mengetes dan mendidik hamba-Nya. Sebagaimana dalam ayat:
"Dan Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155)
Sabar adalah buah dari susahnya kita dalam menghadapi musibah. Terdapat sebuah prinsip manakala kita mendengar tentang adanya musibah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
"(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata 'inna lillahi wa inna ilaihi raji'un'". (Al-Baqarah: 156)
Prinsipnya berbunyi: "sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali." Sebuah prinsip yang menggugah dan penuh makna. Sebagai manusia, kita adalah milik Allah, pencipta diri kita. Maka, apa-apa yang kita akui sebagai milik kita, otomatis adalah milik Allah. Rumah kita milik Allah, kendaraan kita milik Allah, dan bahkan anak-anak kita adalah milik Allah. Semua yang kita mengaku sebagai milik pribadi hanyalah titipan dari Allah. Karena segalanya milik Allah, maka akan kembali kepada-Nya. Jika dilanda musibah, kita sadar bahwa segalanya sebetulnya milik Allah, bukan milik kita, sehingga akan terbentuk sebuah perasaan rendah hati sebagai manifestasi dari perasaan sabar.
Musibah berikutnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
"Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syuro: 30)
Dengan adanya musibah yang disebabkan oleh manusia itu sendiri, akan ada ruang untuk bisa memperbaiki diri. Tanpa musibah, bagaimana bisa manusia mendapatkan pelajaran? Pelajaran yang didapat tentu bisa membuat manusia lebih bijak dan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar