Reformasi Pemikiran

Tariq Ramadan, seorang pemikir Islam dan profesor dari Oxford University, dalam suatu acara Head to Head yang ditayangkan oleh Al Jazeera English menyatakan “Tidak ada reformasi dalam Islam. Islam akan tetap sama (sampai kapanpun). Reformasi adalah untuk pemikiran orang-orang Muslim.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.” (Al-Kahfi: 1)

Agama Islam akan tetap lurus, tidak akan ditemukan pertentangan di dalamnya (Al-Quran terjemahan bahasa Indonesia pada bagian footnote), dan tidak akan menyimpang. Perintah serta larangan-Nya, sebagai seorang Muslim, harus diyakini sebagai yang terbaik karena berasal dari Allah, zat yang paling tahu terhadap diri kita serta dunia dan akhirat.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Salah seorang panellist dalam acara Head to Head itu tidak terima dengan hukuman rajam bagi seseorang yang melakukan hubungan intim dengan pasangan lain di luar nikah (selingkuh). Dia pun meminta agar Tariq mengatakan yang intinya bahwa dia sepakat dengan pernyataan si peminta, tetapi ditolak oleh Tariq. Jika hukuman ini dilihat berdasarkan sejarah Rasulullah saw (Sirah Nabawiyyah), pelaksanaannya hanya sekali ... itupun atas permintaan dari yang bersangkutan! Selain itu, beberapa syarat juga harus terpenuhi. Intinya, kembalikan kepada ayat tadi.

Mengapa pemikiran orang-orang Muslim perlu reformasi? Reformasi ini terutama ditujukan kepada kalangan yang pemahaman Islamnya kurang dan parsial. Dalam memahami sebuah ayat, mereka tidak melihat alasan dibalik turunnya ayat tersebut, kondisi/konteks turunnya ayat tersebut (berkaitan dengan sejarah), dan arti ayat tersebut yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab (bukan kaidah terjemahan). Pemahaman Islam yang kurang itu kemudian dapat mengakibatkan sikap-sikap yang kurang bijak dalam menghadapi persoalan-persoalan di masyarakat. Di sinilah salah satu peran pendidikan Islam. Mendidik agar dapat menentukan sikap.

Dalam menyikapi suatu hal, terutama hal-hal yang sensitif di kalangan umat Islam seperti isu-isu tentang perempuan, perang, hukuman mati, dan seterusnya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. Tentunya, ini berkaitan dengan konteks di mana zaman kita berada. Zaman kita ini, berada pada waktu di mana hak-hak merupakan suatu prioritas, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain (hak-hak versi Barat). Ini merupakan konsekuensi logis setelah adanya perilaku penguasa yang membatasi hak-hak manusia pada zaman sebelumnya. Para pemikir yang kontra dengan penguasa menggunakan dalil “hukum alam”. Maksudnya adalah, alam ini pada hakikatnya merupakan contoh nyata dari keadilan dengan hukum sebab-akibatnya. Oleh karena itu, para pemikir yang bergerak bersama rakyat yang tidak tahan dengan kesewenangan penguasa, menghendaki adanya keadilan bagi masyarakat atau istilah lainnya adalah kontrak sosial. Inti dari kotrak sosial adalah adanya kesepakatan antara masyarakat biasa dengan penguasa tentang hak masing-masing. Sebagai contoh, “Masyarakat menghormati hak pemerintah untuk mengelola negara dan sebagai gantinya pemerintah menghormati hak masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing.”

Dengan pemahaman masyarakat umum yang seperti itu (mengutarakan hak dan kebebasan), bagaimana sikap seorang Muslim?

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka ...” (Ibrahim: 4)

Seorang Muslim benar-benar harus  paham dengan kondisi masyarakatnya. Dia harus bisa sesuai dengan “bahasa” mereka. Penyesuaian ini merupakan langkah pertama sebelum memberikan penjelasan kepada mereka. Rasulullah saw sendiri, berdakwah kepada orang-orang terdekatnya dulu (istri, sahabat, dan kerabat beliau), yaitu orang-orang yang memang tahu betul karakteristik beliau. Rasulullah saw tidak langsung terjun kepada masyarakat setelah datangnya ayat pertama. Melainkan, beliau mendatangi istrinya (Khadijah ra) terlebih dahulu.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, kita harus cermat menyikapi suatu kejadian. Tidak serta merta memberikan vonis. Pastinya, tidak hanya satu faktor saja yang berperan dalam kejadian tersebut. Faktor-faktor yang lainnya juga perlu dikaji dan dipahami, kemudian dicari apa relevansinya dengan sunnah dan Al-Quran yang menjadi landasan utama agama kita ini. Perlu kiranya bagi seorang Muslim yang belum mempelajari dasar-dasar Islam, agar dapat mempeajarinya karena itu merupakan fondasi bagi tumbuhnya pemahaman Islam yang lebih dalam dan benar, sesuai  dengan jalan para salafush saleh (orang-orang terdahulu—para sahabat, tabi’ dan tabi’in).
Stay smart! Wallahu a’lam.

Foto: Unknown/Umar Nasir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gangguan (noise) dalam Proses Komunikasi

Rusty (Law Abiding Citizen 2009 review)

Asal dari Makna