Tak Hanya Kartini: Dua Perempuan Ini Berjasa Majukan Pendidikan di Nusantara

Siapa yang tak kenal dengan Raden Ajeng Kartini; pahlawan nasional yang hari lahirnya pada 21 April 1879 diperingati setiap tahunnya sebagai “Hari Kartini”. Terlepas statusnya sebagai keturunan bangsawan, Kartini justru mewakili orang-orang lemah di masyarakat, khususnya perempuan yang terkungkung oleh adat Jawa.

Cita-cita dan aspirasinya untuk perempuan Nusantara yang terdidik sebagaimana laki-laki membuka jalan bagi kesetaraan pendidikan untuk semua kalangan. Perempuan pun memiliki kesempatan mengeksplor minat dan bakatnya sehingga dapat berkontribusi untuk negeri.

Walaupun tidak jadi mengenyam pendidikan di Belanda pada 1903, Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang. Kartini meninggal dunia pada tahun berikutnya di usia 25 tahun. Tokoh politik etis J.H. Abendanon dan C.T. van Deventer yang mengetahui kiprahnya lantas membentuk Yayasan Kartini dan mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan di berbagai daerah.

Terkenalnya Kartini tidak lepas dari pengaruh 115 suratnya kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis hak asasi perempuan di Belanda, yang dibukukan oleh J.H. Abendanon. Tidak hanya di Indonesia, buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” juga populer di Belanda karena kefasihan seorang perempuan Jawa dalam mengutarakan pemikirannya melalui bahasa ibu mereka!

Namun, sebelum kelahiran Kartini, setidaknya ada dua tokoh perempuan yang berjasa memajukan pendidikan rakyatnya. Tidak hanya itu, kedua tokoh ini bahkan menduduki status yang setara dengan raja! Keduanya memang jarang dikenal karena saluran penyebaran informasi yang masih terbatas dan situasi perang dengan negara kolonial atau kerajaan tetangga.

Mengenal Sultanah Safiatuddin, Penguasa Kesultanan Aceh Darussalam

Sultanah Safiatuddin lahir pada 1612 dengan nama Putri Sri Alam; anak tertua dari Sultan Iskandar Muda yang memerintah kesultanan sejak 1607-1636. Putri Sri Alam menikah dengan Sultan Iskandar Tsani pada 1617 yang kelak akan menggantikan ayahnya dari 1636-1641. Sultan Iskandar Tsani wafat tanpa meninggalkan ahli waris.

Musyawarah ulama dan pembesar kesultanan kemudian menetapkan Putri Sri Alam sebagai penguasa Kesultanan Aceh Darussalam dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillullahi fil Alam binti al-Marhum Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Inilah kali pertama kesultanan Aceh dipimpin seorang perempuan.

Ketetapan tersebut keluar setelah para ulama Aceh membolehkan seorang perempuan menjadi sultan jika memenuhi syarat keagamaan, akhlak, dan ilmu pengetahuannya. Sultanah Safiatuddin ternyata dianggap memenuhi syarat-syarat tersebut; sejak kecil dia sudah mendalami ilmu agama kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Saifuddin Abdulkahar, Syaikh Alaiddin Ahmad, Seri Faqih Zainul Abidin Ibnu Daim Mansur, dan masih banyak lagi. Ilmu agama termasuk di antaranya ilmu fikih yang berkaitan dengan hukum tata negara. Sang Sultanah juga menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.

Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Kitab-kitab dalam berbagai bidang, khususnya yang bertema hukum, filsafat, tasawuf, sejarah, dan kesusastraan telah dikarang dalam bahasa Melayu, Aceh, ataupun Arab. Atas permintaan Sultanah, beberapa ulama menulis kitab yang diperuntukkan untuk kalangan awam; contohnya Syaikh Daud ar-Rumy yang menulis Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadi.

Sebagaimana pendahulunya, Sultanah juga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan bagi perempuan. Alhasil, perempuan memiliki andil dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti menduduki Balai Majelis Mahkamah Rakyat sehingga tak melulu beranggotakan laki-laki.

Setelah Sultanah Safiatuddin wafat di tahun 1975, penggantinya adalah Putri Naqiah yang hanya memerintah selama 3 tahun.

Siti Aisyah, Ratu Penyelamat Sastra Warisan Dunia

Epos terpanjang di dunia bernama La Galigo; mengalahkan epos Mahabarata dari India yang lebih termasyhur bahkan di Indonesia. Padahal, La Galigo berasal dari Indonesia, tepatnya di Sulawesi Selatan, dan sudah diakui sebagai karya sastra warisan dunia. Lebih-lebih, yang berjasa mengumpulkan dan menerjemahkan naskah La Galigo adalah raja perempuan muslim bernama Siti Aisyah We Tenri Olle!

Ayah Siti Aisyah tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa Kerajaan Tanete di Sulawesi Selatan; La Tunampareq dengan gelar Arung Ujung. Sebelum naik tahta, kekuasaan berada di tangan kakeknya,  La Rumpang, yang memutuskan untuk turun tahta dan menunjuk Siti Aisyah sebagai penggantinya. Sebenarnya, Siti Aisyah punya saudara laki-laki yaitu La Makkawaru. Akan tetapi, La Rumpang mengutamakan Siti Aisyah karena tidak menyukai kebiasaan buruk La Makkawaru yang gemar berjudi dan sabung ayam.

Jadilah Siti Aisyah We Tenri Olle sebagai Datu (Ratu) Kerajaan Tanete pada 1855 dan berkuasa selama 55 tahun lamanya. Pemerintahan Siti Aisyah terutama digunakan untuk memajukan bidang kesusastraan dan pendidikan. Kecintaannya pada dunia sastra sudah tampak sedari kecil berkat didikan Colliq Poedjie, ibunya sendiri, yang mengurus pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan. Di saat itulah Siti Aisyah bersentuhan dengan sastra-sastra Bugis Kuno.

Di bidang pendidikan, Siti Aisyah mendirikan sekolah bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ini adalah sebuah terobosan karena sebelumnya anak perempuan tidak bersekolah. Dengan demikian, Siti Aisyah berhasil menerapkan kesetaraan pendidikan di wilayah kekuasaaannya. Kurikulum sekolah antara lain mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung.

Di bidang kesusastraan, Siti Aisyah menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan naskah-naskah La Galigo yang tersebar di Kerajaan Goa, Kerajaan Tallo, dan Kerajaan Bone. Bersama ibunya, proses pengumpulan tersebut berlangsung selama 20 tahun. Menurut perkiraan, baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan.

Penguasaan sastra Bugis Kuno Siti Aisyah adalah kunci untuk menerjemahkan La Galigo ke bahasa Bugis. Barulah naskah tersebut dapat diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh B.F. Matthes, peneliti asal Belanda dari perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap—lembaga Belanda yang mengurusi kitab-kitab. Hingga kini, terjemahan La Galigo disimpan di Universitas Leiden, Belanda.

Hikmah dan Harapan untuk Indonesia

Selain Kartini, dua tokoh tadi dapat menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Sayangnya, rakyat Indonesia belum banyak yang mengenal nama-nama mereka, apalagi kontribusi mereka kepada rakyat dan pendidikan untuk perempuan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengerdilkan perjuangan Kartini di Pulau Jawa. Setiap perjuangan yang baik harus dihargai, termasuk mereka yang jarang diketahui rakyat sendiri.

Dalam hal ini, bentuk penghargaannya berwujud tulisan yang mengenalkan sosok Sultanah Safiatuddin dan Siti Aisyah yang patut dibanggakan oleh rakyat Indonesia. Meski belum bergelar pahlawan, banyak nilai-nilai kepahlawanan yang bisa dipetik dari kedua tokoh tersebut. Kebanggaan yang timbul dapat memupuk kepercayaan diri kita sebagai bangsa Indonesia; bangsa hebat yang mempertahankan identitasnya di tengah era globalisasi dan VUCA.

Beradaptasi dengan perkembangan dunia digital adalah langkah awal untuk mempertahankan identitas tersebut. Di bidang ekonomi, Aplikasi Super hadir membantu kulakan barang kebutuhan pokok dengan lebih mudah dan murah. Aplikasi yang sudah terdaftar di Menkominfo ini dapat dimanfaatkan oleh agen dan toko kelontong serta berdampak positif bagi masyarakat yang memperoleh distribusi barang dengan harga terjangkau.

Melalui Aplikasi Super, yuk dukung misinya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gangguan (noise) dalam Proses Komunikasi

Rusty (Law Abiding Citizen 2009 review)

Asal dari Makna